Rabu, 20 April 2011

Sejarah Ibu Kartini (Hari Kartini)

ane hanya menshare sejarah ibu kita kartini

Hari ini, tanggal 21 April, bangsa kita mengenal sebagai hari lahirnya RA
Kartini, putri Bupati Jepara Raden Mas Sosroningrat, yang kemudian kita
kenal sebagai penggagas emansipasi wanita Indonesia. sebuah gagasan yang
menjadi salah satu inspirasi utama para wanita dan kaum feminis dalam
memperjuangkan hak-haknya sebagai "seorang manusia" hingga saat ini.



Kartini, secara singkat dia mengalami suasana masa muda yang kurang
menyenangkan bagi ukuran wanita sekarang. Dari sumber-sumber sejarah, biasa
digunakan kata "dipingit" sebagai kata yang menggantikan tindakan mengurangi
aktivitas luar seseorang pada suatu daerah tertentu, yaitu rumahnya sendiri.
Baru kemudian, dalam masa pingitan itu dia berkorespondensi pada sahabatnya
di Belanda, salah satunya Rosa Abendanon, dan kita mengenal kumpulan
suratnya itu dalam buku dengan judul *Door Duisternis tot Licht* "Habis
Gelap Terbitlah Terang".



Lalu, kegundahan dan pikiran-pikiran Kartini tentang wanita Indonesia yang
pada masa tersebut mengalami hal serupa diartikulasikan dalam sebuah gerakan
untuk mengangkat derajat kaum wanita. Yang saya tangkap, intinya gerakan itu
menginginkan adanya kesamaan hak antara kaum wanita seperti halnya kaum
pria. Yang lebih berkembang, perlakuan kepada wanita, kewajiban dan lain
aktivitas-aktivitas kaum wanita tidk boleh dibedakan dengan kaum adam.



Benarkah sebenarnya Kartini mengusung hal-hal yang kita kenal dengan gerakan
feminisme itu? tulisan ini terlalu sederhana untuk membahas hal tersebut, tapi
akan memberikan gambaran dan pandangan tentang fenomena feminisme.



Habis Gelap Terbitlah Terang, menurut pengakuan salah satu cucu Kartini
(saya lupa namanya, maaf) secara arti sebenarnya mirip dengan ungkapan
Al-Qur'an *Minadz dzulumatin wan Nur.* Menurutnya, Kartini sendiri
terinspirasi dari ungkapan itu yang islam sudah mengangkat posisi wanita
dalam posisi yang terhormat daripada sebelum Muhammad sebagai Rasul. Kartini
sendiri, adalah muslim yang taat sehingga tidak salah bila islam manjadi
sumber pemikiran dan gagasannya.



Tapi kalau kita bicara sejarah, akan banyak hal yang menyebabkan akhirnya
sejarah menjadi meragukan. Kita mengenalnya, distorsi sejarah. Sejarah
bergantung pada siap yang menuliskannya, terbukti apalagi di bangsa kita.
Menurut Taufik Abdulah, meluruskan sejarah tak akan pernah bisa karena
sejarah bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Jadi, kita tak akan berlama-lama
tentang sejarah Kartini.



Gerakan feminis ini kemudian memang menuai "kesuksesan" di bangsa kita,
wanita-wanita mulai boleh sekolah di luar, boleh bekerja mulai dari aktivitas
yang berbau "khas kewanitaan" sampai posisi-posisi yang cenderung
ditempelkan kepada "aktivitas laki-laki". Secara prinsip, hal itu tentu
tidak masalah. Wanita tidak lagi menjadi "pekerja rumah tangga", yang
kegiatan-kegiatan rumah biasa disandarkan padanya. Wanita tidak lagi menjadi
*second-line* suaminya, malah bisa menjadi "kepala rumah tangga" yang
sebenarnya. Sehingga ungkapan, *Awewe mah dulang tinande *(wanita ikut suami
aja)*, *tidak berlaku lagi.



Apakah feminisme benar-benar ingin mengangkat derajat wanita? Sejauh mana?



Jika feminisme bersikukuh dalam ide gerakan bahwa wanita seharusnya
disamakan dengan laki-laki pada urusan apapun, mulai dari rumah tangga
(tidak ada lagi pembagian ini kerjaan wanita, ini kerjaan laki-laki) hingga
urusan negara, maka sebenarnya terjadi kontradiksi antara hal lainnya disini.
Ketika kita mengakui bahwa ada persaingan dalam hidup, yang kemudian
menjadikan ada pemenang dan pihak kalah, maka pihak yang kalah lah yang
kemudian berada di "bawah". Ini aksioma rimba yang berlaku pada manusia juga.



Nah, akhirnya semua aktivitas adalah persaingan yang menjadikan peserta
persaingan harus berlomba memenangkan permainan. Wanita, juga harus rela dan
sadar jika kemudian dia kalah, karena memang secara alami memiliki potensi
yang berbeda dengan laki-laki. Tidak ada yang bisa disamakan, karena
akhirnya yang layaklah yang jadi pemenangnya. Jika yang dituntut adalah hak
untuk sama-sama masuk laga persaingan, maka itu senantiasa terbuka lebar.
Tapi jika akhirnya kalah, maka jangan kemudian menjadikan itu sebagai alasan
tidak mengakui persamaan hak.



Ini bukanlah masalah fisik, karena ada cerita zaman Khalifah Islam yang
berhikmah tentang peran wanita. Sebagaimana kita tahu, bahwa wanita di
medan-medan peperangan islam sejak Nabi hingga sahabat-sahabatnya ikut
serta, terutama sebagai juru rawat. Ada pula sosok-sosok wanita (shohabiyah)
yang ikut berperang, tapi itu tidaklah banyak. Peluangnya sama jika mau,
tapi "persaingan" menjadikan wanita "kalah".



Di masa kericuhan setelah wafatnya Utsman RA, Ali RA berpendapat tidak ingin
menghukum pihak-pihak yang membunuh karena kestabilan politik yang beliau
utamakan dulu. Tapi banyak sahabat, termasuk Aisyah RA, yang menginginkan
Ali menghukum secepatnya pembunuh tersebut. Karena itu adalah hukum islam.
(kalau salah, mohon dibenarkan).



Akhirnya, timbul peperangan antara pihak penuntut dan Ali (yang dimanfaatkan
untuk memecah belah umat islam). Aisyah pun ikut serta memimpin pasukan
bersama sahabat-sahabat utama. Dalam pertemuan antara Ali dan Aisyah, Ali
mengungkapkan sebuah ayat, "*Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah
seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk
dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam
hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik* (Al-Ahzab [33] :32)*.*" dan
kemudian Aisyah tersadarkan dan pulang kembali.



Dalam perjalanan pulang, Aisyah diberi kawalan oleh Ali 60 pasukan yang
menggunakan pakaian tertutup. Setelah sampai di Madinah, Aisyah baru
mengetahui bahwa pasukan yang disertakan oleh Ali adalah pasukan wanita.
Hingga ungkapannya yang terkenal, "tidak ada yang berkurang dari Ali,
terutama kemuliaannya"



Artinya, tidak mungkin pasukan itu bersenjatakan bukan seperti senjata
layaknya pasukan biasa, seperti pedang, tombak dan panah. Dan tidak mungkin
pula pasukan itu tidak memiliki skill bertempur, karena Ali mempercayakan
Ummul Mukminun pada pasukan tersebut.



Jadi, bukan masalah persamaan yang menjadi initi utama dalam membahas
feminime, tapi proporsionalitas dalam melihatnya. Saya tidak tahu, bila
Kartini tahu bahwa gagasan yang dia taburkan bersemai sedemikian rupa
sehingga sepsrti sekarang, tuntutan menyamakan antara wanita dan pria, bisa
jadi dia merubah gagasannya atau memperjelas lagi apa yang dia mau.



Tentu saja, gerakan feminisme bukan pula gerakan kasihan. Yang hanya
berkembang mengharapkan kasihan pihak lain. Tidak mungkin hidup feminisme,
bila dengan kasihan. Gerakan feminis hendaknya menjadi gerakan pembuktian,
layak tidaknya seorang wanita memegang sebuah posisi. Dan ini adalah
peperangan hidup, yang akhirnya meninggalkan pihak termarginalkan. Dan
wanita sendiri tidak akan kehabisan potensi jika akhirnya harus kalah dalam
persaingan itu.


Semoga Infonya Bermanfaat...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar